Penulis : Bobby Rahadyan

Sore selepas bermain voli di pantai, Barbie dan Barbie-Barbie lainnya berpesta untuk merayakan hari mereka yang sempurna. Di tengah suka cita berdisko ria dengan dentuman lagu Dance The Night-nya Dua Lipa, Barbie nyeletuk soal kematian. Musik berhenti, para Barbie diam—mematung. Penonton pun demikian ……

Dari mula sebelum dirilis, film Barbie garapan Warner Bros.Pictures ini sudah banyak menarik perhatian publik. Sebut saja info penolakan tayang oleh beberapa negara karena isu LGBT sampai soal politik seolah ikut jadi bumbu promosi yang makin sukses membentuk penasaran publik. Termasuk gambar peta laut Cina Selatan yang dimasalahkan oleh beberapa negara Asean. Entah sengaja berlebih atau tidak–secara promotif narasi itu lucu tapi ampuh!

Kemunculan Barbie di awal film diilustrasikan dengan baik oleh Greta Gerwig (sutradara). Ia menggambarkan kondisi psikologis yang dialami sekelompok anak gadis yang sedang main ibu-ibuan dengan boneka bayi mereka. Gurun bebatuan antah barantah dan ekspresi gelisah karena bosan sebab—tak ada pilihan boneka lain kecuali—boneka bayi. Sebab—tak ada pilihan peran lain kecuali—jadi ibu. Mau menolak kalau hal itu relevan dengan isu child free yang santer dekade ini, tapi kok ada benarnya juga. Menjadi ibu atau tidak menjadi ibu dengan segala kondisinya yang kompleks itu disimplifikasikan jadi beban eksistensialisme dari konsep ideal “be ing woman” era tahun 40 sampai 50-an—atau era sebelum ada……Barbie.

Pada adegan berikutnya, Barbie hadir menjawab kebutuhan fantasi dan mewakili mimpi anak-anak perempuan di seluruh dunia untuk bisa menjadi apa saja yang mereka mau. Karena jika Barbie bisa—maka semua wanita juga bisa. Dialog naratif ini dikemas ala iklan product knowledge sembari membagi dua realitas antara ruang imajinatif yang disebut Barbie Land dan Dunia Nyata.

Cerita berlanjut setelah Barbie mendapat ilham soal kematian. Apa yang dialaminya sebagai malfungsi di Barbie Land itu menuntutnya untuk mencari jawaban kepada Weird Barbie, tokoh barbie aneh dan bijak yang merupakan hasil eksperimen anak-anak yang bermain barbie dengan cara brutal seperti mencukur rambut, mencoret-coret wajah dan sampai membuat barbie untuk selalu dalam kondisi melakukan posisi kaki split. (ini bikin ngakak juga sih …). Realitas yang terikat antara Barbie Land dan Dunia Nyata dijelaskan dengan sangat sederhana dan emoh rumit. Masalah yang dialami Barbie berkaitan dengan perasaan batin orang yang memainkannya di Dunia Nyata. Karena itu, Barbie kemudian hanya punya satu pilihan untuk menyelesaikan masalahnya dengan bertemu orang misterius tersebut. “Kamu akan tahu,” kalimat itu menutup pertanyaan Barbie dan penonton yang memang sengaja tidak diajak terlalu ribet berimajinasi soal dunia pararel.

Perjalanan Barbie ke Dunia Nyata ditemani oleh Ken versi Ryan Gosling yang berambut pirang—bekerja di “pantai”—dan melankolis. Hubungan Barbie dan Ken ini dari awal film digambarkan cukup absurd. Romantisme yang dipancarkan oleh Ken tidak sepenuhnya mendapat balasan dari Barbie. Sampai di akhir film pun, memang tidak ada adegan yang menyiratkan hubungan romantis diantara keduanya. Sama seperti aslinya, Mattel (perusahaan pembuat boneka barbie) membuat Ken memang hanya untuk melengkapi keberadaan Barbie, tanpa secara eksplisit menjelaskan peran Ken yang sebenarnya. Anggapan bahwa Ken adalah pacar Barbie ini seolah jadi asumsi pasar yang tidak juga pernah diklaim oleh Mattel. Sekedar pelengkap yang perannya ada selalu di belakang Barbie—membuat Ken semakin bingung menggambarkan siapa dirinya. Termasuk penggalan dialog lucunya yang bingung tentang pekerjaannya sebagai apa di pantai. Hanya pantai, itu saja yang Ken pahami.

Dikutip dari wawancaranya, Margot Robbie yang juga produser dalam film Barbie mengatakan tidak adanya adegan ciuman antara Barbie dan Ken  adalah pesan bahwa keduanya adalah simbol pertemanan gender yang tidak melulu soal romantisme. Meskipun dugaan itu dari awal pasti terbersit di benak penonton. Pemahaman romantisme absurd pasangan ajaib di Barbie Land ini, berbalik arah di Dunia Nyata. Pengalaman demi pengalaman sosial yang dialami Barbie dan Ken kemudian membuka ruang debat kritis soal gender.

Di Dunia Nyata, ketika Barbie sibuk memahami pertemuannya dengan Sasha, remaja labil—gelap—dan skeptis yang dikira sebagai pasangan batinnya, Ken justru menemukan pecerahan diri melalui gagasan patriarki yang disimbolkannya secara sederhana. Baginya, dunia wajib dikuasai pria yang punya uang, gelar dan kuda. Sementara Barbie dibawa oleh pengawal dari Mattel untuk diinterogasi, Ken dan otoritas berpikirnya yang baru itu lalu memutuskan kembali ke Barbie Land sembari mengomel karena Barbie tak pernah memberitahunya soal patriarki.

Adegan Barbie di kantor Mattel yang disebutnya sebagai induk pusat cukup banyak membuat terpingkal. Akting Will Ferrel yang berperan jadi Bos Mattel seperti biasa—sukses menciptakan komedi situasi yang teatrikal. Will Ferrel memang pilihan paling tepat untuk memerankan sosok Bos Mattel ini.

Cerita berlanjut kemudian dengan pemahaman baru dari Barbie dan Ken. Dunia Nyata yang tak seperti apa yang ada di dalam pikiran mereka selama ini, membuat situasi Barbie Land jadi kacau balau. Ken memberi ideologi baru kepada para Ken untuk mengubah konstitusi yang lebih maskulin dan menempatkan para barbie sebagai orang kedua. Adegan satir silih berganti mengilustrasikan debat gender di Barbie Land. Mulai dari Barbie Fisikawan yang merasa lebih suka menjadi tukang pijit Ken sampai Barbie Presiden yang lebih memilih jadi penuang bir untuk Ken. Tak ada lagi rumah impian dan malam khusus para barbie yang jadi agenda rutin di Barbie Land setiap hari.

Kekacauan di Barbie Land berakhir dengan perang antar Ken yang disulut api cemburu yang sengaja dibuat oleh para barbie. Perebutan kekuasaan di Barbie Land dimenangkan oleh Barbie. Semua tokoh dalam film mendapat pencerahan baru. Ken yang lebih mengenal dirinya sendiri, Bos Mattel yang senang karena Barbie Land tidak mengacaukan usahanya di Dunia Nyata, Sasha dan ibunya yang berdamai, Barbie yang kemudian memutuskan untuk menjadi manusia dan hidup di Dunia Nyata—mirip kisah Pinokio yang bemimpi jadi manusia dalam konteks yang berbeda.

Film ini bisa jadi soal merayakan feminisme pakai cara lugas yang apik. Penyampaian dialog kritis reflektif yang mempertemukan prasangka dan kecerdasan dari cara pandang perempuan yang……..Barbie. Seolah Barbie berupaya mengaktualisasikan kemampuannya “berpikir” dan “merasa” dalam satu waktu yang bersamaan—namun juga bisa jadi bingung memahami makna dari keduanya itu. Masalah klise umat manusia yang dibuat punya relasi dengan humor sindiran yang bikin manggut-manggut sepanjang film.

Rating 13+ untuk film ini rasanya dibuat hanya agar tidak kehilangan pasar anak dan remaja. Barangkali kalau mereka ditanya pendapatnya soal film Barbie, jawabannya seragam—lucu ya filmnya. (br)