Oleh : Delfi
Tak bisa dibayangkan betapa sedihnya perasaan seorang istri, ketika anak pertamanya lahir ke dunia, namun sang suami justru dibunuh dalam waktu yang sama. Dan inilah yang terjadi pada Nani (Ariel Tatum), istri dari Ipda Adji (Nicholas Saputra) yang merupakan seorang anggota Densus 88.
Suatu hari saat Nani tengah bersiap menjalani prosesi persalinan di rumah sakit, Adji mendadak mendapat panggilan tugas dari Iptu Ruslan agar mendatangi Mako Brimob. Namun, karena ingin menemani istrinya, Adji pun meminta izin tidak dapat memenuhi panggilan tugas itu. Dengan perasaan tenang, Adji menyampaikan penolakan itu di depan Nani.
Karena jadwal persalinan masih kurang 12 jam, Nani meminta kepada Adji untuk tetap memenuhi panggilan tugas tersebut. Adji pun melangkahkan kaki dengan perasaan berat hati. Ia menyusuri jalanan hingga tiba di kantor yang ia tuju dan bertemu dengan rekan-rekan kerjanya.
Beberapa menit sebelum Adji akan kembali ke rumah sakit, sebuah rumah tahanan di kantor tersebut dibobol oleh para narapidana. Adji yang merupakan salah satu petugas keamanan di tempat tahanan itu bersama kedua rekannya pun segera bertindak menertibkan para narapidana. Namun, tampaknya salah satu narapidana baru bernama Leong, seorang teroris pelaku bom bunuh diri yang taat agama ini malah semakin melawan petugas keamanan. Pria itu melukai setiap orang-orang yang menghalanginya, termasuk Adji.
Disaat yang sama, di rumah sakit, Nani sedang berjuang melahirkan bayi yang ia tunggu-tunggu. Perasaan Nani tak keruan karena ia seperti sedang berada diantara hidup dan mati. Sementara suaminya, Adji tidak ada di sampingnya. Nani tak tahu bahwa di kantor Adji juga sedang berjuang melawan para narapidana yang berusaha melukainya. Hingga pada akhirnya, dalam waktu bersamaan, bayi di dalam perut Nani lahir dengan selamat, sedangkan Adji di kantor Mako Brimob tewas terbunuh oleh para narapidana.
Klise. Mudah ditebak. Karena film drama roman tanpa tragedi di Indonesia agaknya akan kurang laku. Susah kita mendapat happy ending, kecuali dalam komedi. Tapi terlepas dari semua itu, ada banyak sisi menarik yang dapat kita amati dari film—yang entah—secara kebetulan atau tidak—dirilis di waktu yang bersamaan dengan terjadinya tragedi kemanusian di institusi kepolisian di negeri ini.
Rudi Soejarwo sebagai sutradara, pun telah berhasil menempatkan setiap drama dengan tidak berlebihan dalam film ini. Teknis sinematografi dari sutradara kawakan ini, mengajak mata dimanjakan oleh adegan-adegan memukau yang cukup menegangkan dan menyenangkan. Sepanjang film—sebagai sebuah cerita—Sayap-Sayap Patah rasanya akan menjadi roman sekelas AADC dan Ayat-Ayat Cinta dengan perspektif dari seorang aparat penegak hukum dan istrinya.
Ide cerita film ini diangkat dari kisah nyata kerusuhan yang pernah terjadi di Mako Brimob—yang menewaskan lima orang anggota Densus 88, pada tahun 2018 lalu. Denny Siregar, pembuat cerita sekaligus produser Sayap-Sayap Patah boleh jadi ingin menyampaikan sesuatu yang dapat kita baca sebagai pesan tersembunyi dari film yang dibuatnya itu. Meskipun tak ingin dinilai demikian, barangkali Denny harus maklum jika muncul pandangan ini. Sama maklumnya ketika Denny pernah mengomentari sebuah film animasi yang dianggapnya berafiliasi dengan agenda propaganda kelompok agama tertentu.
Tentu ini bukan sebuah maklumat senjata makan tuan pada Denny sebagai produser. Sangat betul jika kita mengatakan bahwa ini adalah film sejarah yang mengajak kita untuk kembali mengenang perjuangan Densus 88 yang mengharukan. Meski diangkat dari kisah nyata, jika kita telaah bersama, ada sisi menarik yang bisa lihat lebih dekat. Misalnya, bagaimana Denny menggambarkan tokoh Adji sebagai aparat kepolisian yang selalu patuh dan disipilin dalam bertugas dengan latar belakang konflik keluarganya. Dan sosok Leong yang digambarkan sebagai pria tua taat agama, namun jahat karena mencelakai nyawa banyak orang melalui pengeboman dan pembobolan ruang tahanan yang dilakukan. Dua karakter berseberangan yang terbebani ironinya masing-masing.
Kalau saja bukan Denny yang membuat film ini, barangkali tendensi untuk menuduh adanya agenda propaganda dalam film ini mungkin tidak akan muncul begitu saja. Namun begitu, film akan tetap menjadi film. Media menyaji hiburan atau perjalanan spiritual untuk mendapatkan sebuah pesan yang terbungkus dengan peristiwa-peristiwa sosial dan kemanusiaan di sekitar kita. Pertanyaannya, tinggal seberapa dekat relevansi film itu dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sosial kita yang sebenarnya?
Apakah balada roman Ipda Adji dan Nani mampu membius penonton dengan pesan cinta dan kesetian kepada keluarga dan negara sekaligus. Atau justru memberatkan pesan sentimen keagamaan yang selama ini—di negeri ini—hanya dibingkai dari penandaan secara visual dan karakter yang begitu menjemukan. Film-film Korea Selatan dan India pun sudah berhasil menghapus sentimen-sentimen serupa menjadi komedi yang dimaklumi sebatas pada perenungan bagi para penonton.
Akhirnya, film Sayap-Sayap Patah boleh menjadi sebuah oase di tengah ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian yang “mungkin” sedang merosot tajam karena kasus Sambo dan mafia judi. Sekarang, mari membayangkan, kira-kira bagaimana karakter yang digambarkan dari peristiwa ini—apabila diangkat jadi sebuah film. Semoga tak segampang hanya dengan wardrobe dan visualisasi yang berpotensi menjadi sentimen-sentimen menjemukan.